Wednesday 31 December 2014

Penjara Suci




Aku berjalan mengendap –ngendap menellusuri semak-belukar mendekati tembok pembatasa pesantrenku. Tanah becek dari malam yang amat dingin sama sekali tidak menghalangi langkahku. Setelah sampai di depan pagar yang menurutku tidak terlalu tinggi ini, kuletakkan kayu balok setengah meter agar kakiku lebih leluasa untuk melompati pagar. Ya,aku akan loncat pagar tengah malam ini. Tapi bukan untuk kabur ke luar pesantren seperti biasanya,melainkan menyusup ke pesantren putri!

Kuliihat bulan di atas sana semakin menampakkan sinar purnamanya. Aku tersenyum mengejek, tiba-tiba saja aku teringat teman-teman di asrama yang semuanya pengecut. Tak ada yang mau mengikuti ide gila ku ini. Ini akan menjadi malam yang menyenangkan, mengintip para santriwati yang tertidur lelap dari jendela asram-asrama. Tak akan ada yang  mengetahui aksiku, karena sudah kupastikan seluruh penghuni pesantren sudah tertidur pulas pada setinggi malam ini.

“Faruq,lekaslah kamu bersiap-siap! Sebentar lagi bel berbunyi,”
Aku yang sedang asyik berkutat dengan HP sedikit terkaget. Rupanya Ahmad temanku sudah
siap brangkat ke kelas dengan beberapa kitab kuning tersikut di lengannya.
“Ah, kamu duluanlah...... Masih ada lima menit lagi,Coy... Aku mau ngisep dulu.”
“Ya sudahlah, terserah kamu!” Ahmad berlalu dengan wajah bersungkut kesal. Aku terkekeh membuang muka. Kunyalakn sebatang rokok sambil kembali asyik memainkan game di-HP bututku. Ngisep adalah istilah merokok di pesantrenku. Di pojok asrama tepatnya di bawah gantungan baju di situlah tempat favoritku, sambil berjongkok ria. Karana tidak nampak dari penghuni lainya. Tapi sebenarnya bukan teman-teman satu asrama yang ku hindari, melainkan kalau-kalau ada ustadz atau staf OSIS yang masuk ke asramaku unutk kontro mendadak.
Suara Bel tanda masuk kelas berbunyi menggema seantero pesantren. Aku emndesah kesal. Dengan terpaksa kumatikan roko yang masih tersisa setengah. Lalu aku bangkit menyiapkan kitab pelajaran hari ini. Namun, sebelumnya aku letakan HP-ku di sebuah tempat rahasia dalam lemariku yang takkan diketahui oleh siap pun selain aku.
Aku setengah berlari menuju ruang kelas sambil merapihkan peci baju yang tak beraturan. Aku beru ingat kalau pak pertama hari ini adalah pelajaran Nahu. Yang mana diajarkan oleh ustadz yang paling killer di pesatrenku yaitu Ustadz Zein. Pantas saja tadi Ahmad mendesak aku agar cepat masuk kelas. Ah, mudahan saja beliau belum masuk. Tapi perkiraan ku  ternyata salah. Saat aku tiba di depan pintu kelas kulihat Ustadz Zein sudah menghadapku dengan tersenyum sinis yang terhias di wajah beliau, aku merasa lemas. Dengan terbata-bata ku ucapkan salam kepada beliau.
“A..assalamu’alaikum.” aku masih berdiri terpaku di hadapan beliau.
“Wa’alikumsalam...”Sesaat hening. Aku tak menyangka ekspresi beliau bisa sedingin ini.
“Faruq, sudah yang keberapa kalinya kamu terlambat?”
“A...afwan. ya Ustadz.” Lidahku terasa kelu. Tiba – tiba beliau tersenyum yang menurutku agak menakutkan.”
            “Kayaknya pagi ini cukup cerah, bahkan bisa dibilang sangat cerah. Nah... Faruq, silahkan kamu berjemur di depan sana. Lepas baju seragammu dan acungkan peci di atas jari telunjukmu.”
Aku tersentak. Setelah itu kudengar ledekkan tawa menggema di seluruh kelas.

Semenjak kecil aku tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu. Waktu aku berumur dua tahun Ibu telah meninggalkan aku dan ayah untuk selamanya. Ayah banting tulang bekerja keras setiap harinya sebagai buruh bangunan, tak jarang Ayah pulang larut malam. Karena itulah kau kurang perhatian dan menjadi berutal. Kalau ayah lelah sehabis bekerja, Ayah lebih sensitif dan sangat suka marah-marah tak jelas apa penyebabnya,tak jarang itu walaupun harus menyakiti fisikku. Karena itulah membuat egoku semakin keras, kenakalanku semakin menjadi-jadi.
            Sehabis lulus sekolah dasar,Ayah memasukkanku secara paksa ke Pondok pesantren, Al-Jannah. Awalnya aku menolak keras karna akuingin ke sekolah umum yang lebih leluasa dalam bergaul. Tapi setelah kupikir-pikir, ada baiknya aku turuti kehendak Ayah masuk pesantren agar bisa terbebas dari kekangan dan aturan-aturan beliau. Namun dugaan ku ternyata salah besar, di pesantren justru ternyata peraturan lebih ketat. Seiring berjalanya waktu, sudah beberapa kali peraturan atau tata-tertib yang ku langgar. Karena aku sangat membenci dengan namanya peraturan.
            Kadang aku merasa iri dengan teman-teman di asram yang  seringkali dijenguk  oleh ayah dan Ibunya. Aku tak mungkin dapat merasakan manisnya semua itu. Karena Ibu sudah tiada dan Ayah yang tak punya waktu menjengukku dikarenakan pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang tak kenal waktu. Bila aku tak tahan melihat pemandangan menyakitkan itu aku lebih memilih keluar asrama,apa saja aku lakukan, asalkan tidak sakit hati melihat kebahagiaan teman-temanku yang dijenguk oleh Orrang tuanya.
            Sekarang aku duduk di kelas I Aliyah, yang sudah empat tahun  aku bertahan dalam penjara suci ini. Namun semakin tinggi kelas aku bukannya  semakin membaik, malah aku semakin tertekan dan aku lebih sering melanggar peraturan. Tak terhitung, mulai dari kedapatan HP,kabur/loncat pagar,merokok,memalsukan tanda tangan Ustadz, atau tidak berjamaah shalat. Dan sesering itu pula ayah sering dipanggil untuk menhadap karena kenakalanku. Ayah marah besar tetapi tak  ada  pengaruhnya bagiku karena sudah terbiasa dimarahi olehnya. Namun, anehnya aku tidak pernah mendapatkan hukuman yang mengharuskan aku untuk berhenti untuk menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Mungkin karena kesalahanku yang bukan termasuk perbuatan fatal, seperti mencuri,berjudi,atau menzalimi sesama teman. Terkadang ustadz dan para OSIS kewalahan menghadapi ulah ku, sudah berbagai cara meraka lakukan, mulai dari sanksian ataupun hukuman berat. Tapi itu tak akan membuatku jera.
            Lain halnya dengan Ustadz Zein. Entah kenapa aku merasa astmofer lain jika waktu berhadapan dengan beliau, semenjak beliau diangkat menjadi ketua keamanan Dewan guru sejak aku duduk di kelas III Tsanawiayah lalu, beliau lebih sering memperhatikanku. Tapi aku bingung kenapa aku selalu merasakan ketakutan jika beliau membentak atau merah padaku. Padahal aku sudah sangat terbiasa jika dimarahi pleh prang lain, siapa pun itu. Kuakui Guruku yang satu ini mempunyai hawa aneh yang sama sekali tidak mengerti...

Malam ini tak cerah seperti baisanya. Hujan deras mengguyuri bumi seantero pesantren. Melelapkan semua penghuninya yang asyik dalam peraduann mimpi – mimpinya. Kilat menyambar-nyambar menampakkan akar cahayanya seperti membelah langit yang suram. Daging menyeruak. Namun, disalah satu asrama yang ada, masih terjaga empat orang santri yang masih asyik bercakap-cakap membicarakan sesuatu hal. suara meraka tak akan terdengar santri lain karena ditelan oleh derasnya hujan.
            Bagaimana?”
            Aku kembali berbicara setelah meraka terdiam. Di depan ku Ahmad,Yahya,dan Eboy tampak berfikir keras.
            “Tapi faruq, ini terlalu beresiko. Aku takutnya... “Belum sempat Ahmad menyelesaikan agrumennya aku menyela.
            “Apa yang kamu takutkan? Bukankah setinggi malam itu takkan ada yang mengetahui aksi kita?”
            “Tapi kalau ustadz atau staf OSIS yang kontrol malam bagaimana?” kali ini Eboy yang angkat bicara.
            “Apa susahnya untuk lari. Malam sangat gelap dan mereka pasti akan sulit menemukan kita.”
            “Tapi aku tak yakin bisa lolos semudah itu, Faruq...”
            “Alaaah...bilang saja kalau kalian semua takut!” Aku mulai kesal.
            “Kami bukannya takut, tapi memikirkan resiko menyelusup ke pesantren putri itu sangat berbahaya bahkan bisa dibilang sangat fatal !”
            Dhuaarr...!!! suara guntur menyambar memekankkan telinga, membentuk kilatan cahaya yang berbahaya di kaca jendela asrama kami.
            “Sudahlah Faruq... Batalkan saja niatmu itu. “Yahya menasihati sampil menatapku nanar.
            “Tidak ! tekatku sudah bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren begini-gini saja.”
            “Kalau beigitu Afwan.... Aku tak bisa ikut dengan ide gilamu ini !”
            Ahmad bangkit berdiri menju kasur tidurnya.
            “Maaf, aku juga tak bisa. Aku mau tidur.” Eboy berdiri menjauh diikuti Yahya di belakangnya. Meninggalkan ku sendiri yang terpaku menatap mereka semua.
            “Dasar  pengecut!” Aku menggumam kesal.
            Gluduk... Duarr..!! Suara petir kembali menggema. Kali ini suaranya lebih keras dari seebelumnya.

Aku merapatkan jaket yang membungkus tubuh kurusku, sambil menajamkan tlinga kalau-kalau ada penghuni pesantren yang terjaga malam ini. Ah, aman. Semua penghuni pesantren sudah pasti tertidur lelap di balik selimutnya. Kulirik arloji di tangan kiriku, sudah pukul satu malam tepat. Kurasa sudah saatnya aku beraksi. Kutanjakkan kayu balok itu erat pada tembok pembatasan pesantren. Aku sudah siap meloncati  pagar ke pesantren putih sebelah. Hup, kakiku mulai menginjak kayu balok sebelum tubuhku ikut melompat. Tapi tiba-tiba aku kaget karena seketika cahaya kuning tepat menyinari wajahku.
“itu dia! Santri mau loncat ke putri, kejar!!”
Sial! Rupanya segerombolan staf OSIS yang kontrol malam menemukanku. Kakiku turun kembali setelah mau meloncati pagar pembatas tadi. Aku gagal beraksi malam ini. Sejurus kemudian aku berlari sekencang mungkin menerobos pagar semak-semak tinggi di kegelapan malam. Staf OSIS juga tak kalah kencang berlari mengerjarku. Aku harus terhindar dari cahaya senter mereka. Aku harus berlari kencang. Napasku tersenga, aku lemas sambil tersandarr di samping asramae Malik 7. Tapi mereka semakin dekat, sehingga memaksaku untuk kembali berlari. Aku mau kembali ke asrama tapi semua asrama sudah pasti dikunci setinggi malam ini. Tujuanku satu-satunya agar terlolos dari mereka Cuma WC! Ya, aku bisa menyelamatkan diriku mengumpet disana. Kalau Adzan subuh mulai menggema baru aku akan keluar dari tempat persembunyianku. Kakiku sudah amat lelah, kupaksakan untuk bangkit walaupun aku juga merasa kantuk mulai menyerangku.
Brug! Aku kaget karena menabrak sesuatu sosok bertubuh besar. Setelah kupastikan siapa sosok bertubuh besar yang mengenakan sorban di bahunya itu ternyata adalah Ustad Zein! Aku meneguk ludah, kerongkonganku terasa tercekat.
“A... Ustadz...?!

Suara bel menggema tanda pelajaran dimulai. Aktivitas sekkolah berjalan seperti biasanya. Pagi ini sangat cerah,tapi hatiku tidak secerah mentari pagi ini. Diruangan khusus kantor Ma’had, aku duduk lesu menatap seisi ruangan kecil ini. Sesungguhnya tempat ini sangat tidak asing lagi bagiku, karena aku sudah sering disidang di tempat ini. Di sampingku Ayah duduk juga tak kalah gelisahnya sepertiku. Beberapa kali Ayah menyepu peluh di pelipisnya. Tak lama kemudian Ustadz Zein masuk ruangan dengan membawa beberapa berkas di lengannya. Setelah menjabat tanganku dan Ayah kemudian beliau duduk di hadapan kami berdua. Deg! Lagi-lagi aku merasa hawa ketakutan yang luar biasa saat Ustadz Zein tersenyum ke arahku. Hening sesaat. Sebelum membuka percakapan Ustadz Zein menatap Ayah lama.
“Begini Pak Rustam, Bapak dipanggil ke sini karena anak Bapak lagi-lagi melakukan kesalahan yaitu melanggar peraturan pondok.”
Kulihat ayah mengangguk lemah.
“Iya,saya tahu Pak Ustadz.”
“Namun kali ini kesalahan anak Bapak sangat fatal. Anak bapak telah berani meloncat pagar dan menyelusup ke pesantren putri sebelah.”
Ayah terdiam lemah. Matanya sendu menatap ke bawah. Sedangkan sku berusaha menahan kecamuk dalam dada. Sesungguhnya aku Dapat merasakan kesedihan di hati Ayah. Tanpa kusadari keringat dingin membasahi tubuhku. Entah sanksian apalagi yang Ustadz Zein tetapkan kepadaku sasaat lagi.
“Padahal Faruq sudah termasuk kelas tinggi di pesantren ini. Seharusnya semakin tinggi kelas ia lebih bisa bersikap dewasa dalam membawa diri. Tapi bukannya ia lebih bisa mengontrol dirinya, justru sikapnya semakin brutal. Saya paling marah jika ada anak santri yang malas untuk masuk kelas untuk belajar. Sedangkan Faruq sangat suka membolos, kalaupun ia hadir bahkan itu pun juga terlambat. Saya tak habis pikir kenapa ia suka membolos, kalaupun ia hadir bahkan itu pun juga terlambat. Saya tak habis pikir kenapa ia suka menyia-nyiakan masa pendidikan yang sangat berharga untuknya itu. Sekali lagi saya sangat menyayangkan sikap tolerannya.”
“Saya juga bingung Pak Ustadz... Padahal saya sudah berusaha mendidiknya dirumah.”
Ah, bohong! Ayah tak pernah perhatian denganku dirumah, apalagi mendidik aku.
Aku menahan kesal dalam hati sambil memperhatikan percakapan Ayah dan Ustadz.
“Ini sudah terlalu sering anak Bapak melanggar peraturan. Mulai dari merokok,membawa Hp,loncat pagar,tidak berjama’ah shalat,bolos sekolah. Tidak terhitung lagi anak Bapak melawan semua peraturan itu. Namun, anehnya sanksian seberat apapun tak membuatnya jera juga untuk bersikap lebih baik.”
Kembali suasana hening menyelimuti kami.
“Dalam dokumen berkas ini, sudah lima kali lebih Faruq melakukan pelanggaran. Dan untuk kesalahan yang satu ini sudah sangat fatal. Kami para Dewan Guru juga sudah kewalahan menghadapinya. Maka itu dengan terpaksa dan berat hati...”
Deg..deg..! entah kenapa aku merasakan seperti sebuah jarum tepat menyerang ulu hatiku. Aku bingung ada apa dengan prasaanku ini. Kutatap wajah Ustadz Zein dengan penuh harap.
“Maka itu dengan terpaksa dan berat hati, Faruq kami kembalikan kepada Bapak alias diberhentikan...”
Ayah yang semula menunduk langsung reflek  menatap wajah Ustadz Zein. Beliau tersentak kaget dan Ustadz Zein kembali mengangguk memastikan ucapannya tadi adalah keputusan terakhir. Sedangkan aku langsung lemas. Aku seperti kehilangan seluruh tonggak penahan di tubuhku, aku merasa rapuh sekali.
“Tidakkah Usatdz bisa memberi hukuman lain agar anak saya tetap bersekolah di sini? Saya tidak tahu lagi harus menyekolahkan anak saya dimana jika diberhentikan di pesantren ini. Saya mohon Pak Ustadz! Berilah keringanan kepada anak saya.”
Ayah berusaha mengiba kepada Ustadz Zein. Namun Ustadz Zein menggeleng lemah.
“Ini sudah keputas kami... Anak Bapakk sudah terlampau jauh mlawan tata-tertib pesantren. Sepertinya dia tidak betah hidup disini.”
“Tidak Pak Ustadz! Saya yakin anak saya betah sekolah di pesantren ini. Mungkin dia kurang perhatian saja karena Ibunya sudah lama meninggal. Dan saya juga tak bisa memberikan didikan kepadanya penuh karena saya tak bisa meninggalkan pekerjaan saya.’
Ayah kembali beragrumen keras. Aku mengerti kalau Ayah berusaha agar aku masih bisa terselamatkan dan tetap bisa bersekolah di sini. Tapi aku bingung kenapa ayah baru menyadarinya kalau dia tidak ada perhatian denganku? Sedagnkan aku sudahlama menantikan semua itu. Menanti dengan penuh harap akan belaiankasih seorang Ayah yang sangat hangat. Yang selalu aku rasakan saat orang tua Ahmad, Yahya, maupun Orang tua Eboy yang datang menanyakan kabarku dan sesekali mengelus kepalaku. Namun, Ayah tak pernah sama sekali mengelus kepalaku lembut, kenapa?
Ustadz Zein menatap nanar kepadaku. Ada suatu perasaan halus yang memancar saat beliau menatapku tapak di manik mata.
“Nak Faruq... Coba kamu jujur. Apakah kamu masih ingin bersekolah disini?”
Beliau bertanya lembut kepadaku. Sejurus kemudian aku mengangguk cepat, padahal aku bingung kenapa langsung saja refleks mengangguk menenggapi pertanyaan beliau.
“Iya Ustadz... Saya masih ingin sekolah di pesantren ini. Saya tak ingin diberhentiikan. Saya kasihan dengan Ayah...”
Ada gurat kekagetan di wajah Ustad Zein dan wajah ayah saat aku mengucapkan kalimat tadi. Entah apakah yang mereka rasakan, yang jelas jujur aku masih ingin bersekolah di pesantren ini.
“Pak Rustam... coba bapak letakkan tangan Bapak di atas meja.”
Aku tak mengerti apa yang Ustadz Zein bicarakan. Ayah nampak kebingungan dengan perintah itu. Namun, sesaat kemudian Ayah menurut dan meletakan tangan beliau di atas meja.
“Nah... Faruq, coba kamu letakkan tanganmu juga di atas meja ini.” Aku langsung menurut, tanpa belum kemengerti apa maksud Ustadz Zein di balik semua ini.
“faruq, coba kamu bandingkan... Lebih kasar mana tanganmu dan tangan Ayahmu?”
Aku bingung. Tentu saja jauh lebih kasaran tangan Ayah daripada tanganku. Lalu apa maksud Ustadz Zein? Kulihat Ayah Cuma terdiam seribu bahasa. Kembali kami bertiga diselimuti keheningan.
Tiba-tiba Ayah menangis. Aku kaget, seumur hidup baru ini kulihat ayah menangis. Tangisannya sangat terdengar pilu ditelingaku dan hatiku sangat sedih mendengarnya. Kulihat Ustadz Zein juga menunduk sedih. Aku semakin bingung ada apa ini. Namun entah kenapa aku juga merasakan kesedihan yang amat sangat. Seperti kontak batin antara Ayah dan Anak, air mataku juga jatuh perlahan menganak sungai di kedua pipiku, sudah sangat lama aku tidak menangis,padahal aku bingung kenapa aku harus menangis.
“Tidakkah kamu sadar Faruq? Ayahmu banting tulang setiap hari melakoni pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang kasar. Hingga semua itu harus membuat tubuhnya penuh dengan goresan kasarnya kehidupan. Kamu lihat tadi betapa kasarnya tangan Ayahmu, seperti cermin yang memantulkan betapa kasarnya perjuangan beliau agar bisa membiayaimu sekolah disini.”
Aku mengangguk lemah sambil air mata yang tak berhenti membasahi pipiku.
“Nah, maukah kamu berjanji kepada Ayahmu agar tidak lagi membuat kesalahan dan memperbaiki kesalahan dirimu? Kalau kamu mau berjanji, Ustadz akna mencabut keputusan tadi dan membiarkanmu agar tetap bisa bersekolah disini.”
“Saya mau Ustadz.... Saya mau! Saya tidak mau lagi melanggar peraturan. Saya akan emperbaiki semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya...”Terhenti dalam sedu sedan.
Hingga akhir itu, berakhirlah semua kenakalanku. Saat itu pula Ayah lebih serinng memperhatikanku selaknya Ayah yang sangat mencintai kepada anaknya. Kulangkahkan mantap hatiku menimba ilmu di pesantren. Tempat yang kuanggap seperti penjara suci tempat tinggalnya para santri penerus bangsa dan Tanah Air ini. Melahirkan kader-kader yang bisa diandalkan dalam masyarakat maupun dalam agama. Masih kokoh berdiri disana, pesantren yang membuatku mengerti sepenuhnya arti kehidupan. Memberiku sebuah arti kebersamaan, kerohanian batin, serta pentingnya pendidikan. Tak dapat kubendung setelah aku tamat belajar disana, masih aku rasakan suasana semua aktivitas para santri yang ceria. Berebut antrean makan,berlari-lari setelah pulang sekolah, khususnya saat pengajian di mushalah. Masih banyak lagi manis yang kurasakan saat aku hidup di penjara suci ini.
Dua puluh tahun kemudian....
Aku menutup percakapan di telepon. Kuhirup secangkir kopi hanga buatan istriku. Sambil remote TV, kuhirup kembali kopi hangat dengan nikmat. Kupandangi jendela pagi hari yang cerah ini, menimbulkan sebuah deja uv yang tak aku mengerti. Tiba-tiba aku dihampiri Afif putra sulungku yang baru saja meraih peringkat pertama di kelulusan SD. Wajahnya tampak sumringah.
“Ayah,kapan kita berangkat kesana? Aku sudah tak sabar lagi.”
“Ya, nanti besok kita berangkat. Ayah juga rindu ingin kesana, ada seseorang yang ingin Ayah temui nanti.”
“Hore...! Ayah janji ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum hangat kepada anakku.
Sekarang aku sudah sukses bekerja menjadi Direktur Utama pada perusahaan pembangunan, kemarin aku sangat terkejut saat anakku minta dimasukkan ke pesantren tempatku menimba ilmu dulu. Tentu aku sangat senang mendengarnya. Dengan senang hati aku menuruti permintaanya.
Ah, sudah lama masa-masa itu. Saat aku dalam proses pendewasaan. Masih aku rasakan pada saat ini. Kupejamkan mataku sambi tersenyum. Bagaimana kabar Ustadz Zein sekarang? Sudah tak sabar aku ingin menemuinya besok nanti. Ingin kupeluk dan kucium tangan beliua. Semoga beliau dalam keadaan beik-baik saja.
Ingin rasanya aku kembali pada masa indah itu. Aku tersenyum, mungkin anakkua akan menjadi generasi pejuang ilmu agama selanjutnya. Ah... penjara suci, menyisakan senandung kerinduan yang tak tertandingi.


Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger