Aku berjalan mengendap –ngendap menellusuri semak-belukar
mendekati tembok pembatasa pesantrenku. Tanah becek dari malam yang amat dingin
sama sekali tidak menghalangi langkahku. Setelah sampai di depan pagar yang
menurutku tidak terlalu tinggi ini, kuletakkan kayu balok setengah meter agar
kakiku lebih leluasa untuk melompati pagar. Ya,aku akan loncat pagar tengah
malam ini. Tapi bukan untuk kabur ke luar pesantren seperti biasanya,melainkan
menyusup ke pesantren putri!
Kuliihat bulan di atas sana semakin menampakkan sinar
purnamanya. Aku tersenyum mengejek, tiba-tiba saja aku teringat teman-teman di
asrama yang semuanya pengecut. Tak ada yang mau mengikuti ide gila ku ini. Ini
akan menjadi malam yang menyenangkan, mengintip para santriwati yang tertidur
lelap dari jendela asram-asrama. Tak akan ada yang mengetahui aksiku, karena sudah kupastikan
seluruh penghuni pesantren sudah tertidur pulas pada setinggi malam ini.
“Faruq,lekaslah kamu bersiap-siap! Sebentar lagi bel
berbunyi,”
Aku yang sedang asyik
berkutat dengan HP sedikit terkaget. Rupanya Ahmad temanku sudah
siap brangkat ke kelas dengan beberapa kitab kuning tersikut di lengannya.
“Ah, kamu duluanlah...... Masih ada lima menit
lagi,Coy... Aku mau ngisep dulu.”
“Ya sudahlah, terserah kamu!” Ahmad berlalu dengan wajah
bersungkut kesal. Aku terkekeh membuang muka. Kunyalakn sebatang rokok sambil
kembali asyik memainkan game di-HP bututku. Ngisep adalah istilah merokok di
pesantrenku. Di pojok asrama tepatnya di bawah gantungan baju di situlah tempat
favoritku, sambil berjongkok ria. Karana tidak nampak dari penghuni lainya.
Tapi sebenarnya bukan teman-teman satu asrama yang ku hindari, melainkan
kalau-kalau ada ustadz atau staf OSIS yang masuk ke asramaku unutk kontro
mendadak.
Suara Bel tanda masuk
kelas berbunyi menggema seantero pesantren. Aku emndesah kesal. Dengan terpaksa
kumatikan roko yang masih tersisa setengah. Lalu aku bangkit menyiapkan kitab
pelajaran hari ini. Namun, sebelumnya aku letakan HP-ku di sebuah tempat
rahasia dalam lemariku yang takkan diketahui oleh siap pun selain aku.
Aku setengah berlari menuju ruang kelas sambil merapihkan
peci baju yang tak beraturan. Aku beru ingat kalau pak pertama hari ini adalah
pelajaran Nahu. Yang mana diajarkan oleh ustadz yang paling killer di
pesatrenku yaitu Ustadz Zein. Pantas saja tadi Ahmad mendesak aku agar cepat
masuk kelas. Ah, mudahan saja beliau belum masuk. Tapi perkiraan ku ternyata salah. Saat aku tiba di depan pintu
kelas kulihat Ustadz Zein sudah menghadapku dengan tersenyum sinis yang terhias
di wajah beliau, aku merasa lemas. Dengan terbata-bata ku ucapkan salam kepada
beliau.
“A..assalamu’alaikum.” aku masih berdiri terpaku di
hadapan beliau.
“Wa’alikumsalam...”Sesaat hening. Aku tak menyangka
ekspresi beliau bisa sedingin ini.
“Faruq, sudah yang keberapa kalinya kamu terlambat?”
“A...afwan. ya Ustadz.” Lidahku terasa kelu. Tiba – tiba
beliau tersenyum yang menurutku agak menakutkan.”
“Kayaknya pagi ini cukup
cerah, bahkan bisa dibilang sangat cerah. Nah... Faruq, silahkan kamu berjemur
di depan sana. Lepas baju seragammu dan acungkan peci di atas jari telunjukmu.”
Aku tersentak. Setelah itu kudengar ledekkan tawa
menggema di seluruh kelas.
Semenjak kecil aku tidak pernah merasakan hangatnya kasih
sayang seorang Ibu. Waktu aku berumur dua tahun Ibu telah meninggalkan aku dan
ayah untuk selamanya. Ayah banting tulang bekerja keras setiap harinya sebagai
buruh bangunan, tak jarang Ayah pulang larut malam. Karena itulah kau kurang
perhatian dan menjadi berutal. Kalau ayah lelah sehabis bekerja, Ayah lebih
sensitif dan sangat suka marah-marah tak jelas apa penyebabnya,tak jarang itu
walaupun harus menyakiti fisikku. Karena itulah membuat egoku semakin keras,
kenakalanku semakin menjadi-jadi.
Sehabis lulus sekolah
dasar,Ayah memasukkanku secara paksa ke Pondok pesantren, Al-Jannah. Awalnya
aku menolak keras karna akuingin ke sekolah umum yang lebih leluasa dalam
bergaul. Tapi setelah kupikir-pikir, ada baiknya aku turuti kehendak Ayah masuk
pesantren agar bisa terbebas dari kekangan dan aturan-aturan beliau. Namun
dugaan ku ternyata salah besar, di pesantren justru ternyata peraturan lebih
ketat. Seiring berjalanya waktu, sudah beberapa kali peraturan atau tata-tertib
yang ku langgar. Karena aku sangat membenci dengan namanya peraturan.
Kadang aku merasa iri
dengan teman-teman di asram yang
seringkali dijenguk oleh ayah dan
Ibunya. Aku tak mungkin dapat merasakan manisnya semua itu. Karena Ibu sudah
tiada dan Ayah yang tak punya waktu menjengukku dikarenakan pekerjaannya
sebagai buruh bangunan yang tak kenal waktu. Bila aku tak tahan melihat
pemandangan menyakitkan itu aku lebih memilih keluar asrama,apa saja aku
lakukan, asalkan tidak sakit hati melihat kebahagiaan teman-temanku yang dijenguk
oleh Orrang tuanya.
Sekarang aku duduk di
kelas I Aliyah, yang sudah empat tahun
aku bertahan dalam penjara suci ini. Namun semakin tinggi kelas aku
bukannya semakin membaik, malah aku
semakin tertekan dan aku lebih sering melanggar peraturan. Tak terhitung, mulai
dari kedapatan HP,kabur/loncat pagar,merokok,memalsukan tanda tangan Ustadz,
atau tidak berjamaah shalat. Dan sesering itu pula ayah sering dipanggil untuk
menhadap karena kenakalanku. Ayah marah besar tetapi tak ada
pengaruhnya bagiku karena sudah terbiasa dimarahi olehnya. Namun,
anehnya aku tidak pernah mendapatkan hukuman yang mengharuskan aku untuk
berhenti untuk menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Mungkin karena
kesalahanku yang bukan termasuk perbuatan fatal, seperti mencuri,berjudi,atau
menzalimi sesama teman. Terkadang ustadz dan para OSIS kewalahan menghadapi
ulah ku, sudah berbagai cara meraka lakukan, mulai dari sanksian ataupun
hukuman berat. Tapi itu tak akan membuatku jera.
Lain halnya dengan Ustadz
Zein. Entah kenapa aku merasa astmofer lain jika waktu berhadapan dengan
beliau, semenjak beliau diangkat menjadi ketua keamanan Dewan guru sejak aku
duduk di kelas III Tsanawiayah lalu, beliau lebih sering memperhatikanku. Tapi
aku bingung kenapa aku selalu merasakan ketakutan jika beliau membentak atau
merah padaku. Padahal aku sudah sangat terbiasa jika dimarahi pleh prang lain,
siapa pun itu. Kuakui Guruku yang satu ini mempunyai hawa aneh yang sama sekali
tidak mengerti...
Malam ini tak cerah seperti baisanya. Hujan deras mengguyuri bumi seantero
pesantren. Melelapkan semua penghuninya yang asyik dalam peraduann mimpi –
mimpinya. Kilat menyambar-nyambar menampakkan akar cahayanya seperti membelah
langit yang suram. Daging menyeruak. Namun, disalah satu asrama yang ada, masih
terjaga empat orang santri yang masih asyik bercakap-cakap membicarakan sesuatu
hal. suara meraka tak akan terdengar santri lain karena ditelan oleh derasnya
hujan.
Bagaimana?”
Aku kembali berbicara
setelah meraka terdiam. Di depan ku Ahmad,Yahya,dan Eboy tampak berfikir keras.
“Tapi faruq, ini terlalu
beresiko. Aku takutnya... “Belum sempat Ahmad menyelesaikan agrumennya aku
menyela.
“Apa yang kamu takutkan?
Bukankah setinggi malam itu takkan ada yang mengetahui aksi kita?”
“Tapi kalau ustadz atau
staf OSIS yang kontrol malam bagaimana?” kali ini Eboy yang angkat bicara.
“Apa susahnya untuk lari.
Malam sangat gelap dan mereka pasti akan sulit menemukan kita.”
“Tapi aku tak yakin bisa
lolos semudah itu, Faruq...”
“Alaaah...bilang saja
kalau kalian semua takut!” Aku mulai kesal.
“Kami bukannya takut, tapi
memikirkan resiko menyelusup ke pesantren putri itu sangat berbahaya bahkan
bisa dibilang sangat fatal !”
Dhuaarr...!!! suara guntur
menyambar memekankkan telinga, membentuk kilatan cahaya yang berbahaya di kaca
jendela asrama kami.
“Sudahlah Faruq...
Batalkan saja niatmu itu. “Yahya menasihati sampil menatapku nanar.
“Tidak ! tekatku sudah
bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren begini-gini saja.”
“Kalau beigitu Afwan....
Aku tak bisa ikut dengan ide gilamu ini !”
Ahmad bangkit berdiri
menju kasur tidurnya.
“Maaf, aku juga tak bisa.
Aku mau tidur.” Eboy berdiri menjauh diikuti Yahya di belakangnya. Meninggalkan
ku sendiri yang terpaku menatap mereka semua.
“Dasar pengecut!” Aku menggumam kesal.
Gluduk... Duarr..!! Suara
petir kembali menggema. Kali ini suaranya lebih keras dari seebelumnya.
Aku merapatkan jaket yang membungkus tubuh kurusku,
sambil menajamkan tlinga kalau-kalau ada penghuni pesantren yang terjaga malam
ini. Ah, aman. Semua penghuni pesantren sudah pasti tertidur lelap di balik
selimutnya. Kulirik arloji di tangan kiriku, sudah pukul satu malam tepat.
Kurasa sudah saatnya aku beraksi. Kutanjakkan kayu balok itu erat pada tembok
pembatasan pesantren. Aku sudah siap meloncati
pagar ke pesantren putih sebelah. Hup, kakiku mulai menginjak kayu balok
sebelum tubuhku ikut melompat. Tapi tiba-tiba aku kaget karena seketika cahaya
kuning tepat menyinari wajahku.
“itu dia! Santri mau loncat ke putri, kejar!!”
Sial! Rupanya segerombolan staf OSIS yang kontrol malam
menemukanku. Kakiku turun kembali setelah mau meloncati pagar pembatas tadi.
Aku gagal beraksi malam ini. Sejurus kemudian aku berlari sekencang mungkin
menerobos pagar semak-semak tinggi di kegelapan malam. Staf OSIS juga tak kalah
kencang berlari mengerjarku. Aku harus terhindar dari cahaya senter mereka. Aku
harus berlari kencang. Napasku tersenga, aku lemas sambil tersandarr di samping
asramae Malik 7. Tapi mereka semakin dekat, sehingga memaksaku untuk kembali
berlari. Aku mau kembali ke asrama tapi semua asrama sudah pasti dikunci
setinggi malam ini. Tujuanku satu-satunya agar terlolos dari mereka Cuma WC!
Ya, aku bisa menyelamatkan diriku mengumpet disana. Kalau Adzan subuh mulai
menggema baru aku akan keluar dari tempat persembunyianku. Kakiku sudah amat
lelah, kupaksakan untuk bangkit walaupun aku juga merasa kantuk mulai
menyerangku.
Brug! Aku kaget karena menabrak sesuatu sosok bertubuh
besar. Setelah kupastikan siapa sosok bertubuh besar yang mengenakan sorban di
bahunya itu ternyata adalah Ustad Zein! Aku meneguk ludah, kerongkonganku
terasa tercekat.
“A... Ustadz...?!
Suara bel menggema tanda pelajaran dimulai. Aktivitas
sekkolah berjalan seperti biasanya. Pagi ini sangat cerah,tapi hatiku tidak
secerah mentari pagi ini. Diruangan khusus kantor Ma’had, aku duduk lesu
menatap seisi ruangan kecil ini. Sesungguhnya tempat ini sangat tidak asing
lagi bagiku, karena aku sudah sering disidang di tempat ini. Di sampingku Ayah
duduk juga tak kalah gelisahnya sepertiku. Beberapa kali Ayah menyepu peluh di
pelipisnya. Tak lama kemudian Ustadz Zein masuk ruangan dengan membawa beberapa
berkas di lengannya. Setelah menjabat tanganku dan Ayah kemudian beliau duduk
di hadapan kami berdua. Deg! Lagi-lagi aku merasa hawa ketakutan yang luar
biasa saat Ustadz Zein tersenyum ke arahku. Hening sesaat. Sebelum membuka
percakapan Ustadz Zein menatap Ayah lama.
“Begini Pak Rustam, Bapak dipanggil ke sini karena anak
Bapak lagi-lagi melakukan kesalahan yaitu melanggar peraturan pondok.”
Kulihat ayah mengangguk lemah.
“Iya,saya tahu Pak Ustadz.”
“Namun kali ini kesalahan anak Bapak sangat fatal. Anak
bapak telah berani meloncat pagar dan menyelusup ke pesantren putri sebelah.”
Ayah terdiam lemah. Matanya sendu menatap ke bawah.
Sedangkan sku berusaha menahan kecamuk dalam dada. Sesungguhnya aku Dapat
merasakan kesedihan di hati Ayah. Tanpa kusadari keringat dingin membasahi
tubuhku. Entah sanksian apalagi yang Ustadz Zein tetapkan kepadaku sasaat lagi.
“Padahal Faruq sudah termasuk kelas tinggi di pesantren
ini. Seharusnya semakin tinggi kelas ia lebih bisa bersikap dewasa dalam
membawa diri. Tapi bukannya ia lebih bisa mengontrol dirinya, justru sikapnya
semakin brutal. Saya paling marah jika ada anak santri yang malas untuk masuk
kelas untuk belajar. Sedangkan Faruq sangat suka membolos, kalaupun ia hadir
bahkan itu pun juga terlambat. Saya tak habis pikir kenapa ia suka membolos,
kalaupun ia hadir bahkan itu pun juga terlambat. Saya tak habis pikir kenapa ia
suka menyia-nyiakan masa pendidikan yang sangat berharga untuknya itu. Sekali
lagi saya sangat menyayangkan sikap tolerannya.”
“Saya juga bingung Pak Ustadz... Padahal saya sudah
berusaha mendidiknya dirumah.”
Ah, bohong! Ayah tak pernah perhatian denganku dirumah,
apalagi mendidik aku.
Aku menahan kesal dalam hati sambil memperhatikan
percakapan Ayah dan Ustadz.
“Ini sudah terlalu sering anak Bapak melanggar peraturan.
Mulai dari merokok,membawa Hp,loncat pagar,tidak berjama’ah shalat,bolos
sekolah. Tidak terhitung lagi anak Bapak melawan semua peraturan itu. Namun,
anehnya sanksian seberat apapun tak membuatnya jera juga untuk bersikap lebih
baik.”
Kembali suasana hening menyelimuti kami.
“Dalam dokumen berkas ini, sudah lima kali lebih Faruq
melakukan pelanggaran. Dan untuk kesalahan yang satu ini sudah sangat fatal.
Kami para Dewan Guru juga sudah kewalahan menghadapinya. Maka itu dengan
terpaksa dan berat hati...”
Deg..deg..! entah kenapa aku merasakan seperti sebuah
jarum tepat menyerang ulu hatiku. Aku bingung ada apa dengan prasaanku ini.
Kutatap wajah Ustadz Zein dengan penuh harap.
“Maka itu dengan terpaksa dan berat hati, Faruq kami
kembalikan kepada Bapak alias diberhentikan...”
Ayah yang semula menunduk langsung reflek menatap wajah Ustadz Zein. Beliau tersentak
kaget dan Ustadz Zein kembali mengangguk memastikan ucapannya tadi adalah
keputusan terakhir. Sedangkan aku langsung lemas. Aku seperti kehilangan
seluruh tonggak penahan di tubuhku, aku merasa rapuh sekali.
“Tidakkah Usatdz bisa memberi hukuman lain agar anak saya
tetap bersekolah di sini? Saya tidak tahu lagi harus menyekolahkan anak saya
dimana jika diberhentikan di pesantren ini. Saya mohon Pak Ustadz! Berilah
keringanan kepada anak saya.”
Ayah berusaha mengiba kepada Ustadz Zein. Namun Ustadz
Zein menggeleng lemah.
“Ini sudah keputas kami... Anak Bapakk sudah terlampau
jauh mlawan tata-tertib pesantren. Sepertinya dia tidak betah hidup disini.”
“Tidak Pak Ustadz! Saya yakin anak saya betah sekolah di
pesantren ini. Mungkin dia kurang perhatian saja karena Ibunya sudah lama
meninggal. Dan saya juga tak bisa memberikan didikan kepadanya penuh karena
saya tak bisa meninggalkan pekerjaan saya.’
Ayah kembali beragrumen keras. Aku mengerti kalau Ayah
berusaha agar aku masih bisa terselamatkan dan tetap bisa bersekolah di sini.
Tapi aku bingung kenapa ayah baru menyadarinya kalau dia tidak ada perhatian
denganku? Sedagnkan aku sudahlama menantikan semua itu. Menanti dengan penuh
harap akan belaiankasih seorang Ayah yang sangat hangat. Yang selalu aku
rasakan saat orang tua Ahmad, Yahya, maupun Orang tua Eboy yang datang
menanyakan kabarku dan sesekali mengelus kepalaku. Namun, Ayah tak pernah sama
sekali mengelus kepalaku lembut, kenapa?
Ustadz Zein menatap nanar kepadaku. Ada suatu perasaan
halus yang memancar saat beliau menatapku tapak di manik mata.
“Nak Faruq... Coba kamu jujur. Apakah kamu masih ingin
bersekolah disini?”
Beliau bertanya lembut kepadaku. Sejurus kemudian aku
mengangguk cepat, padahal aku bingung kenapa langsung saja refleks mengangguk
menenggapi pertanyaan beliau.
“Iya Ustadz... Saya masih ingin sekolah di pesantren ini.
Saya tak ingin diberhentiikan. Saya kasihan dengan Ayah...”
Ada gurat kekagetan di wajah Ustad Zein dan wajah ayah saat
aku mengucapkan kalimat tadi. Entah apakah yang mereka rasakan, yang jelas
jujur aku masih ingin bersekolah di pesantren ini.
“Pak Rustam... coba bapak letakkan tangan Bapak di atas
meja.”
Aku tak mengerti apa yang Ustadz Zein bicarakan. Ayah
nampak kebingungan dengan perintah itu. Namun, sesaat kemudian Ayah menurut dan
meletakan tangan beliau di atas meja.
“Nah... Faruq, coba kamu letakkan tanganmu juga di atas
meja ini.” Aku langsung menurut, tanpa belum kemengerti apa maksud Ustadz Zein
di balik semua ini.
“faruq, coba kamu bandingkan... Lebih kasar mana tanganmu
dan tangan Ayahmu?”
Aku bingung. Tentu saja jauh lebih kasaran tangan Ayah
daripada tanganku. Lalu apa maksud Ustadz Zein? Kulihat Ayah Cuma terdiam
seribu bahasa. Kembali kami bertiga diselimuti keheningan.
Tiba-tiba Ayah menangis. Aku kaget, seumur hidup baru ini
kulihat ayah menangis. Tangisannya sangat terdengar pilu ditelingaku dan hatiku
sangat sedih mendengarnya. Kulihat Ustadz Zein juga menunduk sedih. Aku semakin
bingung ada apa ini. Namun entah kenapa aku juga merasakan kesedihan yang amat
sangat. Seperti kontak batin antara Ayah dan Anak, air mataku juga jatuh
perlahan menganak sungai di kedua pipiku, sudah sangat lama aku tidak
menangis,padahal aku bingung kenapa aku harus menangis.
“Tidakkah kamu sadar Faruq? Ayahmu banting tulang setiap
hari melakoni pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang kasar. Hingga semua itu
harus membuat tubuhnya penuh dengan goresan kasarnya kehidupan. Kamu lihat tadi
betapa kasarnya tangan Ayahmu, seperti cermin yang memantulkan betapa kasarnya
perjuangan beliau agar bisa membiayaimu sekolah disini.”
Aku mengangguk lemah sambil air mata yang tak berhenti
membasahi pipiku.
“Nah, maukah kamu berjanji kepada Ayahmu agar tidak lagi
membuat kesalahan dan memperbaiki kesalahan dirimu? Kalau kamu mau berjanji,
Ustadz akna mencabut keputusan tadi dan membiarkanmu agar tetap bisa bersekolah
disini.”
“Saya mau Ustadz.... Saya mau! Saya tidak mau lagi
melanggar peraturan. Saya akan emperbaiki semua kesalahan yang pernah saya
lakukan. Saya...”Terhenti dalam sedu sedan.
Hingga akhir itu, berakhirlah semua kenakalanku. Saat itu
pula Ayah lebih serinng memperhatikanku selaknya Ayah yang sangat mencintai
kepada anaknya. Kulangkahkan mantap hatiku menimba ilmu di pesantren. Tempat
yang kuanggap seperti penjara suci tempat tinggalnya para santri penerus bangsa
dan Tanah Air ini. Melahirkan kader-kader yang bisa diandalkan dalam masyarakat
maupun dalam agama. Masih kokoh berdiri disana, pesantren yang membuatku
mengerti sepenuhnya arti kehidupan. Memberiku sebuah arti kebersamaan,
kerohanian batin, serta pentingnya pendidikan. Tak dapat kubendung setelah aku
tamat belajar disana, masih aku rasakan suasana semua aktivitas para santri
yang ceria. Berebut antrean makan,berlari-lari setelah pulang sekolah,
khususnya saat pengajian di mushalah. Masih banyak lagi manis yang kurasakan
saat aku hidup di penjara suci ini.
Dua puluh tahun kemudian....
Aku menutup percakapan di telepon. Kuhirup secangkir kopi
hanga buatan istriku. Sambil remote TV, kuhirup kembali kopi hangat dengan
nikmat. Kupandangi jendela pagi hari yang cerah ini, menimbulkan sebuah deja uv
yang tak aku mengerti. Tiba-tiba aku dihampiri Afif putra sulungku yang baru
saja meraih peringkat pertama di kelulusan SD. Wajahnya tampak sumringah.
“Ayah,kapan kita berangkat kesana? Aku sudah tak sabar
lagi.”
“Ya, nanti besok kita berangkat. Ayah juga rindu ingin
kesana, ada seseorang yang ingin Ayah temui nanti.”
“Hore...! Ayah janji ya.” Aku mengangguk sambil tersenyum
hangat kepada anakku.
Sekarang aku sudah sukses bekerja menjadi Direktur Utama
pada perusahaan pembangunan, kemarin aku sangat terkejut saat anakku minta
dimasukkan ke pesantren tempatku menimba ilmu dulu. Tentu aku sangat senang
mendengarnya. Dengan senang hati aku menuruti permintaanya.
Ah, sudah lama masa-masa itu. Saat aku dalam proses
pendewasaan. Masih aku rasakan pada saat ini. Kupejamkan mataku sambi
tersenyum. Bagaimana kabar Ustadz Zein sekarang? Sudah tak sabar aku ingin
menemuinya besok nanti. Ingin kupeluk dan kucium tangan beliua. Semoga beliau
dalam keadaan beik-baik saja.
Ingin rasanya aku kembali pada masa indah itu. Aku
tersenyum, mungkin anakkua akan menjadi generasi pejuang ilmu agama
selanjutnya. Ah... penjara suci, menyisakan senandung kerinduan yang tak
tertandingi.